Kamis, 09 Mei 2013

Suatu Ketika

Suatu ketika di saat kita berhenti di persimpangan yang sama, jalan mana yang akan kau pilih? Suatu ketika di mana kita berada dalam cerita yang sama, akhir seperti apa yang kau inginkan? Suatu ketika di saat kaki kita melangkah beriringan. Akankah kau mau mengikuti seberapa jauh langkah kaki ini sanggup melangkah? Suatu ketika hati ini telah jatuh padamu, maukah kau bersedia menangkapnya?
Jawabannya kini telah aku temukan, Sayang.
Kau dan aku tidak memilih jalan yang sama. Kau berhenti, sedangkan aku masih setia melangkah lurus ke depan. Ternyata kini aku mengerti, Sayang.Akhir cerita seperti inilah yang kau inginkan. Berakhir dengan menyisakan luka yang tak teraba. Luka yang tertutupi selubung kedustaan.
Ku kira kau akan mengikuti langkah kakiku. Kemana pun aku sanggup melangkah. Ternyata aku salah besar, Sayang.
Saat aku merasakan cinta yang amat sangat padamu. Saat aku menitipkan seluruh hatiku yang telah jatuh pada pesonamu, dengan teganya kau meninggalkan aku. Mencampakkan aku tanpa sepatah kata pun. Setidaknya kata perpisahan. Tapi kau tak pernah mengatakan apa pun padaku, kecuali kata-kata penuh luka itu.
Kini aku benar-benar mengerti, Sayang. Suatu ketika itu bukanlah apa-apa  lagi untukmu.

Kamis, 02 Mei 2013

Arah Jalan


Kemarin, lagi-lagi aku melihatmu dengannya. Rasa hati tak menentu. Tapi entah kenapa, nalarku malah menyuruhku tuk mendekatimu.
Egoku tertutupi rasa yang halus dan tak teraba.
Tapi sejenak aku tersadar, langkah kaki kita tak lagi sama. Tujuan kita tlah berbeda.
Kau sudah bersamanya, menuju suatu jalan yang tak akan pernah aku lalui. Dan di sini, aku berjalan sendirian. Meneruskan jalan yang dulu sempat kulalui bersamamu.
Jalan yang akhirnya tak akan kau teruskan langkahmu.
Kau berhenti di persimpangan dan memilih meneruskan langkahmu bersamanya. Meninggalkanku yang termenung  bak manekin yang tak bisa dipindahkan lagi.
Ya, di jalan itu aku cukup lama berhenti.
Menatap punggungmu dari kejauhan. Menatap lenganmu—yang selalu kujadikan tempat bergelayut—kini merangkulnya dengan erat.
Ingin menangis, tapi aku tak sanggup. Ingin berteriak, tapi tak sepatah kata pun yang keluar dari bibirku. Karena itu semua tak akan merubah suatu apa pun.
Akhirnya aku menyerah. Memang sedari awal kita hanya dipertemukan untuk saling menemani di sebagian jalan. Karena kau memang sudah takdirnya untuk berbelok arah.
Kau dan aku hanya segelintir harapan di antara ribuan serpihan takdir.