Kemarin,
lagi-lagi aku melihatmu dengannya. Rasa hati tak menentu. Tapi entah kenapa,
nalarku malah menyuruhku tuk mendekatimu.
Egoku tertutupi
rasa yang halus dan tak teraba.
Tapi sejenak
aku tersadar, langkah kaki kita tak lagi sama. Tujuan kita tlah berbeda.
Kau sudah
bersamanya, menuju suatu jalan yang tak akan pernah aku lalui. Dan di sini, aku
berjalan sendirian. Meneruskan jalan yang dulu sempat kulalui bersamamu.
Jalan yang
akhirnya tak akan kau teruskan langkahmu.
Kau berhenti
di persimpangan dan memilih meneruskan langkahmu bersamanya. Meninggalkanku yang
termenung bak manekin yang tak bisa
dipindahkan lagi.
Ya, di
jalan itu aku cukup lama berhenti.
Menatap punggungmu
dari kejauhan. Menatap lenganmu—yang selalu kujadikan tempat bergelayut—kini
merangkulnya dengan erat.
Ingin menangis,
tapi aku tak sanggup. Ingin berteriak, tapi tak sepatah kata pun yang keluar
dari bibirku. Karena itu semua tak akan merubah suatu apa pun.
Akhirnya aku
menyerah. Memang sedari awal kita hanya dipertemukan untuk saling menemani di
sebagian jalan. Karena kau memang sudah takdirnya untuk berbelok arah.
Kau dan
aku hanya segelintir harapan di antara ribuan serpihan takdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar