Rabu, 30 Oktober 2013

Tentang Mendung



            Hei, aku ingin menceritakan kepadamu tentang sebuah kisah yang pernah tetangkap oleh telingaku. Tentang sebuah perasaan yang membuat orang itu bingung.
            Mendung. Ia menyebut dirinya begitu. Ia menyukai udara dingin saat mendung mulai datang, menyukai euforia saat angin-angin menampar pipinya. Menyisakan rasa dingin yang begitu ia sukai.
            Mendung. Kadang ia kesal dengan namanya. Mengapa namanya seolah mencerminkan kisahnya yang seperti mendung. Abu-abu.
            Mendung. Sampai detik ini ia tidak juga mengerti kenapa Tuhan menakdirkannya sedemikian rupa.
            Kisah ini tentang mendung.
            Suatu hari aku melihatnya menangis. Aku mendekatinya dan terkejut saat secara tiba-tiba ia memelukku. Membasahi bahuku yang ia jadikan tempat sandaran.
            Aku tau, saat itu ia benar-benar membutuhkan tempat sandaran. Karena itulah, aku memposisikan diriku sebagai orang yang tepat untuknya kala itu. Saat itulah kali pertama ia menceritakan semuanya. Tentang rasa muaknya, rasa kesal kenapa ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Semua rasa ia tuangkan padaku, bak teh yang selalu aku minum dikala senja datang. Hingga bagian itu tiba. Bagian saat ia memuncakkan seluruh amarahnya. Rasa kebenciannya kepada dirinya sendiri.
            “Aku bodoh!” teriaknya kala itu sambil memukul-mukuli kepalanya.
            Aku kewalahan mengatasinya yang benar-benar terlihat kacau kala itu. Akhirnya setelah sekian lama, aku berhasil menenangkannya. Ia tertidur dengan damai. Bibirnya yang selalu tersenyum itu, aku tau semua hanya kamuflase. Menyembunyikan rasa sakit hatinya dengan senyuman untuk membuat ia merasa semua akan baik-baik saja. Walau keadaan nyatanya tidak seperti itu.
            Kami bertemu lagi keesokan harinya. Ia tampak lebih tenang. Tapi ada yang berbeda. Ia memotong rambut panjangnya menjadi sebahu. Juga memotong poninya yang sangat ia banggakan.
            “Poni patah hati.”
            Ia memberi nama pada model poni yang bentuknya tak jelas itu. Seperti diagram yang aku buat saat SD.
            Mendung bercerita. Tentang kebimbangannya dalam mencari bintang.
            “Kenapa harus bintang?” tanyaku.
            “Karena aku ingin orang memandangku tidak terlalu besar. Bintang terlihat kecil walaupun sebenarnya ia lebih besar dari yang kita kira. Ia selalu ada di atas langit, meskipun saat siang hari ia tidak terlihat karena sinar matahari menutupi sinarnya.”
            Aku terdiam. Akhirnya aku mengerti kenapa ‘harus’ bintang.
            Ia ingin ada orang yang selalu ada untuknya. Walaupun bukan dalam artian orang itu selalu ada di sisinya. Tapi mendung menginginkan ada seseorang yang memberinya semangat. Memberikannya motivasi, menemani mendung di saat suka dan dukanya.
            “Dulu aku mengira ia bintangku, tapi ternyata ia hanya matahari.” Mendung menerawarang ke atas sana. Mencoba menantang matahari yang tampak angkuh. “Dia egois!”
            “Tapi matahari kan bintang juga.” Belaku.
            “Memang, tapi setidaknya ia tidak seegois bintang. Bintang tak membutuhkan apa pun. Ah, susah menjelaskannya...”
            Mendung. Aku tau begitu susah menjadi dirimu. Betapa inginnya kau berlari dari semuanya. Betapa inginnya kau sesegera mungkin memeluk bintangmu.
            “Aku selalu kehilangan arah untuk menemukan bintang. Setiap aku merasa sudah jatuh di suatu bintang, ternyata ia hanya fatamorgana.” Jelas Mendung dengan mata berkaca-kaca.
            Ah Mendung, malang nian nasibmu.
            “Aku rasa aku mulai menyukai seseorang yang aku anggap bintangku. Tapi aku merasa berhenti menyukainya saat tau bukan aku rasi yang ada dalam orbitnya.” Bisik Mendung dengan perumpamaan yang sulit aku artikan.
            “Percayalah Mendung, bintang yang lain akan menyadari betapa kamu berharga.” Aku mencoba menenangkan.
            “Tapi aku bukan Cerah. Aku Mendung. Aku sudah terkontaminasi.” Kata Mendung lagi yang membuatku geleng-geleng kepala. Dia sedang membahas apa sih? Makanan?
            “Kamu tidak perlu mencoba mengartikan apa yang aku katakan ini. Karena suatu hari nanti kamu akan tau,” kata Mendung dan berlalu dari hadapanku.
            Semenjak saat itu Mendung menghilang. Tidak pernah ke tempat ini lagi. Ah, Mendung. Kini aku mengerti. Kau ingin laki-laki yang memberimu kepastian. Memberimu semangat, memberimu kekuatan saat kau terluka. Membutuhkan seseorang untuk bisa memelukmu saat kau tertatih.
            Yang menerima kekuranganmu yang kau ciptakan sendiri akibat kesalahanmu di masa lalu. Semoga kau menemukannya, Mendung. Secepatnya....