Hei, aku ingin menceritakan kepadamu
tentang sebuah kisah yang pernah tetangkap oleh telingaku. Tentang sebuah
perasaan yang membuat orang itu bingung.
Mendung. Ia menyebut dirinya begitu.
Ia menyukai udara dingin saat mendung mulai datang, menyukai euforia saat
angin-angin menampar pipinya. Menyisakan rasa dingin yang begitu ia sukai.
Mendung. Kadang ia kesal dengan
namanya. Mengapa namanya seolah mencerminkan kisahnya yang seperti mendung. Abu-abu.
Mendung. Sampai detik ini ia tidak
juga mengerti kenapa Tuhan menakdirkannya sedemikian rupa.
Kisah ini tentang mendung.
Suatu hari aku melihatnya menangis. Aku
mendekatinya dan terkejut saat secara tiba-tiba ia memelukku. Membasahi bahuku
yang ia jadikan tempat sandaran.
Aku tau, saat itu ia benar-benar
membutuhkan tempat sandaran. Karena itulah, aku memposisikan diriku sebagai
orang yang tepat untuknya kala itu. Saat itulah kali pertama ia menceritakan
semuanya. Tentang rasa muaknya, rasa kesal kenapa ia tidak bisa menjadi dirinya
sendiri. Semua rasa ia tuangkan padaku, bak teh yang selalu aku minum dikala
senja datang. Hingga bagian itu tiba. Bagian saat ia memuncakkan seluruh
amarahnya. Rasa kebenciannya kepada dirinya sendiri.
“Aku bodoh!” teriaknya kala itu
sambil memukul-mukuli kepalanya.
Aku kewalahan mengatasinya yang
benar-benar terlihat kacau kala itu. Akhirnya setelah sekian lama, aku berhasil
menenangkannya. Ia tertidur dengan damai. Bibirnya yang selalu tersenyum itu,
aku tau semua hanya kamuflase. Menyembunyikan rasa sakit hatinya dengan
senyuman untuk membuat ia merasa semua akan baik-baik saja. Walau keadaan
nyatanya tidak seperti itu.
Kami bertemu lagi keesokan harinya. Ia
tampak lebih tenang. Tapi ada yang berbeda. Ia memotong rambut panjangnya
menjadi sebahu. Juga memotong poninya yang sangat ia banggakan.
“Poni patah hati.”
Ia memberi nama pada model poni yang
bentuknya tak jelas itu. Seperti diagram yang aku buat saat SD.
Mendung bercerita. Tentang kebimbangannya
dalam mencari bintang.
“Kenapa harus bintang?” tanyaku.
“Karena aku ingin orang memandangku
tidak terlalu besar. Bintang terlihat kecil walaupun sebenarnya ia lebih besar
dari yang kita kira. Ia selalu ada di atas langit, meskipun saat siang hari ia
tidak terlihat karena sinar matahari menutupi sinarnya.”
Aku terdiam. Akhirnya aku mengerti
kenapa ‘harus’ bintang.
Ia ingin ada orang yang selalu ada
untuknya. Walaupun bukan dalam artian orang itu selalu ada di sisinya. Tapi mendung
menginginkan ada seseorang yang memberinya semangat. Memberikannya motivasi,
menemani mendung di saat suka dan dukanya.
“Dulu aku mengira ia bintangku, tapi
ternyata ia hanya matahari.” Mendung menerawarang ke atas sana. Mencoba menantang
matahari yang tampak angkuh. “Dia egois!”
“Tapi matahari kan bintang juga.” Belaku.
“Memang, tapi setidaknya ia tidak
seegois bintang. Bintang tak membutuhkan apa pun. Ah, susah menjelaskannya...”
Mendung. Aku tau begitu susah
menjadi dirimu. Betapa inginnya kau berlari dari semuanya. Betapa inginnya kau
sesegera mungkin memeluk bintangmu.
“Aku selalu kehilangan arah untuk
menemukan bintang. Setiap aku merasa sudah jatuh di suatu bintang, ternyata ia
hanya fatamorgana.” Jelas Mendung dengan mata berkaca-kaca.
Ah Mendung, malang nian nasibmu.
“Aku rasa aku mulai menyukai
seseorang yang aku anggap bintangku. Tapi aku merasa berhenti menyukainya saat
tau bukan aku rasi yang ada dalam orbitnya.” Bisik Mendung dengan perumpamaan
yang sulit aku artikan.
“Percayalah Mendung, bintang yang
lain akan menyadari betapa kamu berharga.” Aku mencoba menenangkan.
“Tapi aku bukan Cerah. Aku Mendung. Aku
sudah terkontaminasi.” Kata Mendung lagi yang membuatku geleng-geleng kepala. Dia
sedang membahas apa sih? Makanan?
“Kamu tidak perlu mencoba
mengartikan apa yang aku katakan ini. Karena suatu hari nanti kamu akan tau,”
kata Mendung dan berlalu dari hadapanku.
Semenjak saat itu Mendung
menghilang. Tidak pernah ke tempat ini lagi. Ah, Mendung. Kini aku mengerti. Kau
ingin laki-laki yang memberimu kepastian. Memberimu semangat, memberimu
kekuatan saat kau terluka. Membutuhkan seseorang untuk bisa memelukmu saat kau
tertatih.
Yang menerima kekuranganmu yang kau
ciptakan sendiri akibat kesalahanmu di masa lalu. Semoga kau menemukannya,
Mendung. Secepatnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar