Kamis, 15 Mei 2014

Jika Ini Memang Cinta

Jika ini memang cinta, aku tak mengapa.
Jika memang ini cinta, aku ingin tetap seperti ini.
Jika ini memang cinta, jangan paksa aku untuk menghapusnya.
Jika ini memang cinta, aku akan bahagia walau sejenak.

Jika ini memang cinta, aku tak akan menyesal.
Karena aku yakin, kali ini aku tidak mencintai orang yang salah.
Aku akan bahagia bisa mencintai orang sepertimu.
Yang membuatku kembali merasakan getaran-getaran itu.
Yang membuat duniaku kembali berwarna lagi.
Yang mengusir jauh-jauh awan kelabu yang selama ini menaungiku.

Jika ini memang cinta, aku tak ingin menuntut lebih.
Cukup jadi temanmu, walau sebenarnya menyakitkan.
Ingin bisa ada di dekatmu tanpa status yang lebih.
Walau aku tahu, perasaan ini menunggu balasan tanpa aku minta.

Jika ini memang cinta, aku mohon jangan ada yang berubah.
Jangan ubah bahagia ini menjadi kesedihan lagi.
Jangan membuatku menjadi orang lain lagi.
Jangan mengekangku seperti cinta yang lalu.
Jangan menjadi sakit seperti yang sudah.

Jika ini memang cinta, biarkan senyum tetap terkembang di wajahku.
Biarkan air mata ini turun karena bahagia, bukan kesedihan.
Biarkan irama jantungku mengikuti irama jantungmu tanpa aku minta.
Biarkan aku memimpikanmu di setiap tidurku.
Biarkan cinta ini tetap tumbuh tanpa aku beri pupuk.

Jika ini memang cinta, tetaplah ada di dekatku.
Tetaplah menghiasi hari-hariku tanpa kau bermaksud begitu.
Tetaplah menjadi lelakiku yang ku cintai dalam diam.
Tetaplah menjadi pangeran di kerajaan hatiku.
Tetaplah menjadi kamu apa adanya yang aku cintai.

Jika ini memang cinta...
...aku cinta kamu.



Palembang, 15 Mei 2014
 08.41 WIB

Winda Zizty

Jumat, 09 Mei 2014

Sungguh

Sungguh, entah apa maksudku menulis akan hal ini. Yang jelas, hatiku sakit. Sedih. Ingin menangis tapi air mataku sudah banyak terbuang percuma. Sungguh, rasanya amat menyakitkan. Entah apa nama perasaan yang kini bersarang di hatiku.
Sungguh, ada terselip sedikit bahagia saat mata kita bertemu kala itu. Saat orang-orang tengah menggodamu dengan dia yang mendapat kesempatan untuk berdua. Saat itu, mata kita bertemu. Entah kenapa saat itu aku merasakan kau seolah berkata : “Jangan percaya dengan semua ini.”. Dan entah kenapa, itu membuatku sedikit merasa tenang. Sebenarnya, apa yang terjadi?
Sungguh, rasanya aku ingin mengusir temanku saat kau duduk di sampingku kala itu. Ya, walaupun ada jarak di antara kita. Karena kita memang bukan muhrim. Tapi, jujur, aku ingin sekali saja duduk berdua denganmu, mengobrolkan hal-hal kurang penting. Seperti adegan yang tertulis di novel-novel yang sering aku baca. Cerita-cerita klasik yang membuatku terus bermimpi.
Entah kenapa saat itu aku merasa senang karena kau mengabulkan harapan di hatiku: mendekatiku yang tengah duduk di bangku itu, walau aku sedang tak sendirian. Kau duduk di pinggir kiri bangku, sedangkan aku dan temanku duduk di sisi kiri. Aku merasa sedikit malu saat sebuah suara memecah keheningan kita.
“Eh, siapa yang jadi orang ketiga?”
Aku menoleh dan lantas berteriak, “Biasanya yang duduk di tengah itu orang ketiga.” Kala itu posisi dudukku memang berada di tengah-tengah dirimu dan temanku.
Ya, aku tidak pernah mau memposisikan diriku sebagai pemeran utama. Aku lebih suka menjadi tokoh penengah, orang ketiga. Aku tidak mau menjadi besar kepala dan menaruh harap terlalu besar padamu kalau aku memposisikan diriku sebagai pemeran utama.
Terlebih, aku tahu, ada dia yang menaruh hati padamu. Yang begitu mengantungkan harapnya padamu. Yang aku rasa sangat membutuhkan semua curahan kasih sayang dan perhatian darimu. Lagi-lagi aku memposisikan diriku sebagai orang ketiga, dimana kau dan dia adalah pemeran utamanya.
Sungguh, aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Aku tidak tahu siapa yang ada di dalam hatimu. Nama siapa yang sudah kau ukir di dasar hatimu yang kau kunci rapat itu. Jangan berlagak misterius di depanku! Aku tidak mengapa kalau dia yang ada di hatimu. Sungguh. Walaupun memang, kenyataannya tak semudah dengan tulisan atau ucapan yang aku lontarkan. Tapi, jangan membuat dia menaruh terlalu harap padamu. Kalau kau jadi wanita, kau pasti tahu seperti apa rasanya saat digantungkan harapannya seperti ini.



Palembang, 9 Mei 2014
19.52 WIB

Sabtu, 03 Mei 2014

Menjadi Penulis

Ohayou gozaimasu~
Udah lama nih gak nge-blog. Sesuai sama judulnya, aku mau ngasih tulisan tentang menjadi penulis.
Check this out...

Kalau mau jujur, dulu sama sekali gak kepikiran buat jadi penulis. Gak pernah kepikiran ada orang lain yang baca karya aku. Saat tahu ada yang baca karya kita itu, rasanya gak bisa diungkapin. Seneng, bahagia, dan beberapa perasaan lainnya. Campur aduk deh pokoknya.

Pertama kali nulis itu karena disuruh Mbak buat ikut lomba novel Islami. Awalnya gak mau. Soalnya basic aku bukan ke Islami, tapi lebih ke romance. Akhirnya, beraniin diri buat nulis dan ngirim. Ya, walaupun gak menang, tapi sejak saat itu semakin termotivasi untuk nulis lebih banyak lagi.

Well, Mbak aku nyuruh aku ikut lomba bukan karena iseng-iseng atau gimana, lho. Semua bermula dari 'novel' yang aku buat untuk temen aku. Novel itu aku tulis di buku, eh, gak tau kenapa rupanya tulisan aku dibaca sama anggota keluarga aku yang lain. Mungkin dari situ, Mbak aku itu ngeliat kalo aku suka nulis.

Jadi penulis itu gak gampang. Kadang saat ide datang, ada aja hal-hal yang membuat kita terhalang untuk nulis di laptop. Misalnya, laptopya dipake buat tugas. Eh, pas tugas kakak kita itu udah selesai, mood nulis kita udah hilang terbawa angin.Kadang saat kita lagi semangat nulis pun, ide itu gak muncul-muncul. Jadilah kita cuma bengong gak jelas sambil melototin layar laptop sampe mata hampir jebol.
*bercanda.

Selesai nulis novel pun belum tentu karya kita langsung terbit. Kayak aku nih, (dan mungkin penulis yang lainnya), aku harus belasan kali nerima kenyataan kalo novel aku ditolak. Rasanya kesal, dan campur aduk. Tapi, ya kalo gak ngelewatin itu semua, kita gak bakal tahu jatuh bangun dan rasa bahagia saat tahu dari sekian banyak naskah novel yang ditolak itu ternyata akan ada yang segera rilis dan meluncur ke toko buku.

Niat nulis ini sih biar memotivasi yang baca. Tapi setelah dipikir-pikir, nih tulisan gak cocok dibilang sebagai tulisa inspiratif. Ya, tapi kalau menurut kalian tulisan ini memotivasi kalian untuk terus nulis, ya, aku bakal seneng banget.

Itu aja deh,
Satu pesan untuk kalian dan untuk aku sendiri : "Kamu gak akan tahu jalan yang di depan kalau kamu takut unuk ngelanjutin langkah kamu. Jalan aja terus, dan kalau ada halangan, anggap saja itu untuk mendewasakan kamu."

Sayonara~



p.s : Kalo ada typo, maaf ya ^-^