Jumat, 09 Mei 2014

Sungguh

Sungguh, entah apa maksudku menulis akan hal ini. Yang jelas, hatiku sakit. Sedih. Ingin menangis tapi air mataku sudah banyak terbuang percuma. Sungguh, rasanya amat menyakitkan. Entah apa nama perasaan yang kini bersarang di hatiku.
Sungguh, ada terselip sedikit bahagia saat mata kita bertemu kala itu. Saat orang-orang tengah menggodamu dengan dia yang mendapat kesempatan untuk berdua. Saat itu, mata kita bertemu. Entah kenapa saat itu aku merasakan kau seolah berkata : “Jangan percaya dengan semua ini.”. Dan entah kenapa, itu membuatku sedikit merasa tenang. Sebenarnya, apa yang terjadi?
Sungguh, rasanya aku ingin mengusir temanku saat kau duduk di sampingku kala itu. Ya, walaupun ada jarak di antara kita. Karena kita memang bukan muhrim. Tapi, jujur, aku ingin sekali saja duduk berdua denganmu, mengobrolkan hal-hal kurang penting. Seperti adegan yang tertulis di novel-novel yang sering aku baca. Cerita-cerita klasik yang membuatku terus bermimpi.
Entah kenapa saat itu aku merasa senang karena kau mengabulkan harapan di hatiku: mendekatiku yang tengah duduk di bangku itu, walau aku sedang tak sendirian. Kau duduk di pinggir kiri bangku, sedangkan aku dan temanku duduk di sisi kiri. Aku merasa sedikit malu saat sebuah suara memecah keheningan kita.
“Eh, siapa yang jadi orang ketiga?”
Aku menoleh dan lantas berteriak, “Biasanya yang duduk di tengah itu orang ketiga.” Kala itu posisi dudukku memang berada di tengah-tengah dirimu dan temanku.
Ya, aku tidak pernah mau memposisikan diriku sebagai pemeran utama. Aku lebih suka menjadi tokoh penengah, orang ketiga. Aku tidak mau menjadi besar kepala dan menaruh harap terlalu besar padamu kalau aku memposisikan diriku sebagai pemeran utama.
Terlebih, aku tahu, ada dia yang menaruh hati padamu. Yang begitu mengantungkan harapnya padamu. Yang aku rasa sangat membutuhkan semua curahan kasih sayang dan perhatian darimu. Lagi-lagi aku memposisikan diriku sebagai orang ketiga, dimana kau dan dia adalah pemeran utamanya.
Sungguh, aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Aku tidak tahu siapa yang ada di dalam hatimu. Nama siapa yang sudah kau ukir di dasar hatimu yang kau kunci rapat itu. Jangan berlagak misterius di depanku! Aku tidak mengapa kalau dia yang ada di hatimu. Sungguh. Walaupun memang, kenyataannya tak semudah dengan tulisan atau ucapan yang aku lontarkan. Tapi, jangan membuat dia menaruh terlalu harap padamu. Kalau kau jadi wanita, kau pasti tahu seperti apa rasanya saat digantungkan harapannya seperti ini.



Palembang, 9 Mei 2014
19.52 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar