Sungguh, entah apa
maksudku menulis akan hal ini. Yang jelas, hatiku sakit. Sedih. Ingin menangis
tapi air mataku sudah banyak terbuang percuma. Sungguh, rasanya amat
menyakitkan. Entah apa nama perasaan yang kini bersarang di hatiku.
Sungguh, ada
terselip sedikit bahagia saat mata kita bertemu kala itu. Saat orang-orang
tengah menggodamu dengan dia yang mendapat kesempatan untuk berdua. Saat itu,
mata kita bertemu. Entah kenapa saat itu aku merasakan kau seolah berkata : “Jangan
percaya dengan semua ini.”. Dan entah kenapa, itu membuatku sedikit merasa
tenang. Sebenarnya, apa yang terjadi?
Sungguh, rasanya
aku ingin mengusir temanku saat kau duduk di sampingku kala itu. Ya, walaupun
ada jarak di antara kita. Karena kita memang bukan muhrim. Tapi, jujur, aku
ingin sekali saja duduk berdua denganmu, mengobrolkan hal-hal kurang penting. Seperti
adegan yang tertulis di novel-novel yang sering aku baca. Cerita-cerita klasik
yang membuatku terus bermimpi.
Entah kenapa saat
itu aku merasa senang karena kau mengabulkan harapan di hatiku: mendekatiku
yang tengah duduk di bangku itu, walau aku sedang tak sendirian. Kau duduk di
pinggir kiri bangku, sedangkan aku dan temanku duduk di sisi kiri. Aku merasa
sedikit malu saat sebuah suara memecah keheningan kita.
“Eh, siapa yang
jadi orang ketiga?”
Aku menoleh dan
lantas berteriak, “Biasanya yang duduk di tengah itu orang ketiga.” Kala itu
posisi dudukku memang berada di tengah-tengah dirimu dan temanku.
Ya, aku tidak
pernah mau memposisikan diriku sebagai pemeran utama. Aku lebih suka menjadi
tokoh penengah, orang ketiga. Aku tidak mau menjadi besar kepala dan menaruh
harap terlalu besar padamu kalau aku memposisikan diriku sebagai pemeran utama.
Terlebih, aku tahu,
ada dia yang menaruh hati padamu. Yang begitu mengantungkan harapnya padamu. Yang
aku rasa sangat membutuhkan semua curahan kasih sayang dan perhatian darimu. Lagi-lagi
aku memposisikan diriku sebagai orang ketiga, dimana kau dan dia adalah pemeran
utamanya.
Sungguh, aku tidak
tahu apa yang ada di pikiranmu. Aku tidak tahu siapa yang ada di dalam hatimu. Nama
siapa yang sudah kau ukir di dasar hatimu yang kau kunci rapat itu. Jangan berlagak
misterius di depanku! Aku tidak mengapa kalau dia yang ada di hatimu. Sungguh. Walaupun
memang, kenyataannya tak semudah dengan tulisan atau ucapan yang aku lontarkan.
Tapi, jangan membuat dia menaruh terlalu harap padamu. Kalau kau jadi wanita,
kau pasti tahu seperti apa rasanya saat digantungkan harapannya seperti ini.
Palembang, 9 Mei 2014
19.52 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar